الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على رسول الله، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وبعد
Sesungguhnya Islam merupakan agama yang sempurna. Tidak ada satu perkarapun kecuali telah dijelaskan di dalam Islam. Apabila dalam perkara seperti bersisir dan istinja’ saja telah ada penjelasannya di dalam Islam, apatah lagi pada perkara yang lebih besar seperti shalat. Oleh karena itu Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan kita agar mengikuti dan mencontoh beliau dalam seluruh amalan shalat kita. Beliau صلى الله عليه وسلم mengatakan:
(صلوا كما رأيتموني أصلي (رواه البخارى
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”(HR.Bukhari).
Oleh sebab itu para sahabat رضى الله عنهم sangat bersemangat untuk menghadiri dan menyaksikan shalat beliau صلى الله عليه وسلم , baik shalat fardhu maupun nafilah agar dapat mencontoh praktek shalat yang beliau kerjakan. Kemudian mereka mengkhabarkan kepada orang-orang yang setelahnya di dalam hadits-hadits yang diriwayatkan dari mereka. Dan terus menerus hadits-hadits tersebut diriwayatkan dan disampaikan kepada orang-orang yang setelahnya hingga sampai kepada kita. Sehingga orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dapat mengetahui cara shalat beliau dari khabar yang datang dari mereka. Kemudian mereka dapat melaksanakan shalat tersebut seperti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم .
Sebagaimana ibadah yang lain, maka shalat memiliki rukun dan syarat yang wajib dipenuhi bagi orang yang ingin mengerjakannya. Dan diantara rukun shalat yang tidak akan sah shalat seseorang tanpanya adalah membaca Al Fatihah, sebagaimana perkataan Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fathihatul Kitab (surat Al Fatihah)”[1].
Dan surat Al Fatihah yang wajib dibaca setiap shalat terdiri dari tujuh ayat. Sebagaimana perkataan Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ مِثْلَ أُمِّ الْقُرْآنِ وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي (وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ
“Tidaklah Allah عزوجل menurunkan di dalam Taurat dan juga di dalam Injil yang seperti ummul Qur’an (surat Al Fatihah). Dan dia adalah Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang), dan Al Qur’an yang agung”[2].
Berkata Al-Baaji : “Beliau memaksudkan dengannya kepada perkataan Allah Ta’la :
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ
Artinya : “Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu Sab’ul Matsani dan Al Quran yang agung”.(QS. Al-Hijr : 87).
Dan dinamakan “ Sab’u” karena dia tujuh ayat, dan Matsani karena dia diulang-ulang bacaannya dalam setiap raka’at shalat”.
Maka dari ini kita ketahui bahwa bismillah termasuk bagian dari tujuh ayat surat Al Fatihah yang wajib juga dibaca ketika shalat dan tidak akan sah shalat seseorang yang tidak membacanya.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan, apakah membacanya dengan jahr (mengeraskannya) atau dengan sirr- (memelankannya)?
Sebagaimana perkara yang sudah kita ketahui, bahwasanya wajib di dalam shalat kita untuk mencontoh praktek shalat Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Dan kita tidak akan mengetahui bagaimana cara shalat beliau kecuali melalui pengkhabaran orang-orang yang pernah melihat langsung shalat beliau, yakni para sahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم, yang terdapat di dalam hadits-hadits yang shahih yang diriwayatkan dari mereka. Termasuk juga dalam permasalahan ini (yakni mensirr-kan atau menjahrkan bismillah).
Dan hadits-hadits yang menceritakan tentang yang demikian[3] cukup banyak diriwayatkan di dalam shahihain (Bukhari, Muslim) dan selainnya.
Diantaranya hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari (2/188) ,di dalam “SIFAT SHALAT” , bab “APA YANG DIUCAPKAN SETELAH TAKBIR” :
عَنْ أَنَسِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ كَانُوا يَفْتَتِحُونَ الصَّلَاةَ بِ{ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dari Anas bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم ,dan Abu Bakar, dan Umar mereka membuka bacaan shalat mereka dengan الحمدلله الرب العالمين “
Dan dalam riwayat Imam Tirmizi (no:246) :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَفْتَتِحُونَ الْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dari Anas dia mengatakan adalah Rasulullah dan Abu Bakar dan Umar dan Utsman mereka membuka bacaan shalat mereka dengan الحمدلله الرب العالمين “.
Dan Imam Muslim mengeluarkan dalam “KITAB SHALAT”, bab “DALIL ORANG YANG TIDAK MENJAHRKAN BISMILLAH” :
عَنْ أَنَسٍ أيضا قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Dari Anas juga dia mengatakan : “Aku pernah shalat bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم , Abu Bakar, Umar dan Utsman, maka aku tidak pernah mendengar seorang dari mereka membaca بسم الله الرحمن الرحيم “.l[4]
Dan dalam riwayat yang lain:
صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ الصَّلَاةَ بِ{ الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } لَا يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا
“Aku shalat di belakang nabi صلى الله عليه وسلم , Abu Bakar, Umar, dan Utsman رضى الله عنهم , maka mereka membuka bacaan shalat dengan الحمدلله الرب العالمين , tanpa menyebutkan بسم الله الرحمن الرحيم baik di awal bacaan atau di akhirnya”.[5]
Dan meriwayatkan Imam An Nasa’i dalam “SUNAN” nya:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُسْمِعْنَا قِرَاءَةَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, وَصَلَّى بِنَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَلَمْ نَسْمَعْهَا مِنْهُمَا
“Dari Anas bin Malik dia mengatakan: “Shalat bersama kami Rasulullah صلى الله عليه وسلم maka beliau tidak memperdengarkan kepada kami bacaan بسم الله الرحمن الرحيم , dan shalat bersama kami Abu Bakar dan Umar maka kami tidak mendengarnya dari keduanya”[6].
Dan dalam riwayat lain dari beliau :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَجْهَرُ بِ{ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Aku pernah shalat di belakang Rasulullah صلى الله عليه وسلم , Abu Bakar , Umar dan Utsman رضى الله عنهم , maka aku tidak pernah mendengar salah seorang dari mereka menjahrkan بسم الله الرحمن الرحيم “l[7].
Dan meriwayatkan Imam Ahmad (3/264), dan At Thahawi (1/119) dan Ad Daruqutni (119), mereka mengatakan padanya:
…فَكَانُوا لَا يَجْهَرُونَ بِ{ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“…maka mereka tidak menjahrkan بسم الله الرحمن الرحيم “
Dan meriwayatkan Ibnu Hibban dalam “SHAHIH” nya, dan menambahkan :
ويجهرون بـ ( الحمد لله رب العالمين...
“… Dan mereka menjahrkan الحمدلله الرب العالمين “
Dan dalam lafaz Abu Ya’la Al Mushili dalam “MUSNAD” nya:
...فكانوا يستفتحون القراءة فيما يجهر به بالحمدلله الرب العالمين
… Maka mereka membuka bacaan yang dijahrkan dengan الحمدلله الرب العالمين
Dan dalam lafaz Thabrani dalam “MU’JAM” nya dan Abu Nu’aim dalam “AL HILYAH”, dan Ibnu Khuzaimah dalam “SHAHIH” nya dan At Thahawi dalam “SYARAH MA’ANI ATSAR” :
... وكانوا يسرون ببسم الله الرحمن الرحيم
“… Dan mereka mensirr-kan بسم الله الرحمن الرحيم ”.
Berkata syaikh Abdullah bin Shalih Alu Bassam رحمه الله : “Menyebutkan Anas bin Malik رضى الله عنه bahwasanya dia bersamaan lamanya bersahabat dengan nabi صلى الله عليه وسلم dan senantiasanya menyertai beliau dan juga para khulafa’ Ar Rasidhin, tidak pernah beliau mendengar salah seorang dari mereka membaca (menjahrkan) بسم الله الرحمن الرحيم di dalam shalat baik di awal bacaan maupun di akhirnya, dan hanya saja mereka membuka shalat dengan الحمدلله الرب العالمين”.
Berkata Az Zaila’i di dalam “NASHBUR RAAYAH” (1/327) : “Dan periwayat-periwayat hadits-hadits ini seluruhnya terpercaya, ditampilkan dalam shahih seluruhnya”.
Berkata syaikh Albani رحمه الله di dalam “TAMAMUL MINNAH” (hal: 169) : “Dan yang benar bahwasanya tidak ada tentang menjahrkan bismillah hadits yang tegas menyatakan demikian yang shahih, bahkan yang shahih dari beliau صلى الله عليه وسلمmensirr-kannya dari hadits Anas, dan aku telah mendapatkan baginya sepuluh jalan yang aku sebutkan di dalam takhrij “SIFAT SHALAT NABI صلى الله عليه وسلم ” yang kebanyakannya shahih sanadnya, dan pada sebahagian lafaznya menegaskan bahwasanya beliau صلى الله عليه وسلم tidak pernah menjahrkannya, dan sanadnya shahih berdasarkan syarat Muslim, dan ini merupakan mazhabjumhur fuqaha’ dan kebanyakan ulama hadits dan dialah yang benar yang tidak ada keraguan padanya”.
Berkata Ibnu Daqiq Al ‘Ied : “Dan yang diyakini dari hadits ini adalah tidak menjahrkan (yakni bismillah), dan Anas telah bersahabat dengan Rasulullah صلى الله عليه وسلم selama sepuluh tahun, dan bersahabat dengan khalifah yang tiga selama dua puluh lima tahun dan dia shalat di belakang mereka shalat-shalat seluruhnya.”
Inilah kumpulan dalil-dalil dan penjelasan ulama yang menunjukkan tentang disyari’atkannya mensirr-kan bismillah di dalam shalat jahriah. Adapun dalil-dalil yang diriwayatkan dari nabi صلى الله عليه وسلم yang menegaskan tentang menjahrkan bismillah maka tidak ada yang shahih. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله : “… Akan tetapi tidak shahih dari nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya beliau menjahrkannya, dan tidak ada dalam kitab-kitab shahih dan kitab-kitab sunan hadits shahih yang menegaskan tentang menjahrkannya, dan hadits-hadits yang menegaskan tentang menjahrkannya seluruhnya dha’if bahkan palsu. Oleh karena ini Imam Daruqutni tatkala mengarang kitab tentang yang demikian, dikatakan kepadanya : “Apakah tentang yang demikian ada hadits yang shahih ?”, maka beliau mengatakan : “Adapun dari nabi صلى الله عليه وسلم maka tidak ada, dan adapun dari sahabat maka diantaranya ada yang shahih dan diantaranya ada yang dha’if”.
Adapun riwayat yang shahih tentang menjahrkan bismillah dari sebagian sahabat maka dipahami darinya bahwa yang demikian dalam rangka taklim yakni pemberitahuan bahwa membaca bismillah merupakan perkara yang disyariatkan dalam shalat, bukan menunjukkan bahwa menjahrkan tersebut disyari’atkan untuk dilakukan terus-menerus, sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikhul islam Ibnu Taimiyah di dalam “ MAJMU’ AL FATAWA (22/274)”.
Oleh : Abu Anas Abdullah Al-Medani
Buletin Ta'zhim As-Sunnah Edisi 15/IV/1 Jumadal Ula 1431 H
sumber : http://tazhimussunnah.com